Berdasarkan teori Convergentie Theorie, setiap anak yang lahir diumpamakan sehelai kertas yang sudah ditulisi penuh, tetapi semua tulisan masih kabur/suram. Pendidikan berkewajiban menebalkan tulisan baik yang masih suram dan membiarkan tulisan jahat tetap kabur/suram. Sebagai seorang Pamong, hendaknya guru diharapkan mampu menebalkan tulisan baik yang masih suram agar tampak jelas dan bermakna.

  Dalam pembelajaran di kelas, sebagai seorang pamong hendaknya melaksanakan pembelajaran yang menghargai setiap potensi setiap murid agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, sehingga sangat tepat apabila diterapkan pembelajaran berdiferensiasi. Dalam pembelajaran berdiferensiasi bukan berarti guru harus mengajar dengan berbagai cara berbeda sesuai jumlah murid yang berada di dalam kelas, bukan pula seorang guru harus memperbanyak jumlah soal untuk murid yang bekerja lebih cepat dibandingkan yang lain, juga bukan berarti guru harus mengelompokkan murid yang pintar dengan yang pintar, murid yang kurang pintar dengan yang kurang pintar, bukan pula memberikan tugas yang berbeda untuk setiap anak. Guru tentunya bukanlah malaikat bersayap atau superhero yang siap sedia ke sana kemari untuk berada di tempat yang berbeda-beda dalam satu waktu dan mampu memecahkan semua permasalahan yang ada. 

    Pembelajaran berdiferensiasi merupakan proses pembelajaran efektif dengan memberikan beragam cara untuk memahami informasi baru untuk semua murid dalam komunitas kelas yang beraneka ragam, termasuk cara untuk mendapatkan konten, mengolah, membangun, atau menalar gagasan dan mengembangkan produk pembelajaran serta penilaian, sehingga semua murid di suatu kelas yang memiliki beragam latar belakang dan kemampuan mampu melaksanakan pembelajaran secara efektif. Dalam mengembangkan pembelajaran yang berpihak pada murid, untuk dapat mengembangkan setiap potensi yang dimiliki oleh murid-murid kita, memang selayaknya diperlukan pembelajaran berdiferensiasi, sehingga semua murid akan berkembang secara optimal sesuai kemampuan dan potensinya masing-masing.

  Menurut Ki Hajar Dewantara (KHD) seorang guru seharusnya memiliki pengetahuan mendalam mengenai seni mendidik. Serupa seperti para pengukir yang memiliki pengetahuan mendalam tentang keadaan kayu, jenis-jenisnya, keindahan ukiran, dan cara-cara mengukirnya, Seperti itulah seharusnya seorang guru. Bedanya, Guru mengukir manusia yang memiliki hidup lahir dan batin.

    Dalam mewujudkan pembelajaran berdiferensiasi, maka pembelajaran yang dilaksanakan haruslah berakar pada pemenuhan kebutuhan belajar murid dan bagaimana guru merespon kebutuhan belajar tersebut. Berkaitan dengan pembelajaran berdiferensiasi, juga sangat diperlukan pembelajaran yang menggunakan Kompetensi Sosial Emosional (KSE), sehingga akan melengkapi dan menjadikan pembelajaran lebih tertata, balance, dan meningkatkan ketercapaian tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Pembelajaran sosial emosional adalah pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah. Proses kolaborasi ini memungkinkan anak dan orang dewasa di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap positif mengenai aspek sosial dan emosional. Dalam pembelajaran sosial emosional memiliki tujuan sebagai berikut:

  1. Memberikan pemahaman, penghayatan, dan kemampuan untuk mengelola emosi/kesadaran diri.
  2. Menetapkan dan mencapai tujuan positif/pengelolaan diri.
  3. Merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain/kesadaran sosial.
  4. Membangun dan mempertahankan hubungan yang positif/keterampilan membangun relasi.
  5. Membuat keputusan yang bertanggung jawab/pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.
Berikut 5 KSE yang penting, diantaranya:
  1. Pengelolaan emosi dan fokus pada tujuan.
  2. Empati.
  3. Kemampuan kerjasama dan resolusi konflik.
  4. Pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.
  5. Pengenalan emosi.
Seorang guru selain harus memperhatikan 5 hal penting dalam KSE, juga perlu menerapkan 5 Kompetensi Sosial Emosional agar dapat menerapkannya pada murid yang diampunya di kelas. Berikut 5 KSE, diantaranya:
  1. Kesadaran diri (pengenalan emosi).
  2. Pengelolaan diri (mengelola emosi dan fokus untuk mencapai tujuan).
  3. Kesadaran sosial ( keterampilan berempati).
  4. Keterampilan berelasi (kerjasama dan resolusi konflik).
  5. Pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.
    Pembelajaran berdiferensiasi dan KSE akan semakin sempurna apabila ditunjang dengan praktik Coaching oleh guru pada murid-muridnya. Praktik Coaching dapat dilaksanakan menggunakan model TIRTa. Model ini dikembangkan dengan semangat merdeka belajar yang menuntut guru untuk memiliki keterampilan coaching.  Hal ini penting mengingat tujuan coaching yaitu untuk melejitkan potensi murid agar menjadi lebih merdeka. Melalui model TIRTa, guru diharapkan dapat melakukan pendampingan kepada murid melalui pendekatan coaching di komunitas sekolah dengan lebih mudah dan mengalir. TIRTa kepanjangan dari:

T: Tujuan

I: Identifikasi

R: Rencana aksi

Ta: Tanggung jawab


    Dari segi bahasa, TIRTa berarti air. Air mengalir dari hulu ke hilir. Jika kita ibaratkan murid kita adalah air, maka biarlah ia merdeka, mengalir lepas hingga ke hilir potensinya. Anda, sebagai guru memiliki tugas untuk menjaga air itu tetap mengalir, tanpa sumbatan. Tugas kita adalah menuntun atau membantu murid (
coachee) menyadari bahwa mereka mampu menyingkirkan sumbatan-sumbatan yang mungkin menghambat perkembangan potensi dalam dirinya. Dengan demikian, cara kita menjaga agar dapat menyingkirkan sumbatan yang ada adalah keterampilan coaching.
Apabila guru mampu menerapkan pembelajaran berdiferensiasi, pembelajaran KSE, dilengkapi dengan Coaching, maka selaku pamong, Kita akan mampu mendampingi dan mengoptimalkan setiap potensi yang dimiliki oleh murid kita, dan akan mampu mengantarkan mereka ke gerbang kesuksesan menuju masa depan mereka nan gemilang.